简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Hak atas fotoANTARA FOTO/RENO ESNIRImage caption Para pemohon uji materi UU Pemilu di antaranya Dire
Hak atas fotoANTARA FOTO/RENO ESNIRImage caption Para pemohon uji materi UU Pemilu di antaranya Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini lalu Pemerhati Pemilu, Hadar Nafis Gumay bersama Indrayana Centre for Gobernment, Constitution, and Society (INTEGRITY).
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa KTP elektronik tidak menjadi satu-satunya syarat untuk memilih dalam Pemilu 2019 tanggal 17 April nanti.
Keputusan itu diambil dalam pembacaan putusan uji materi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis (28/03) sekitar pukul 13.30 WIB di Gedung MK, Jakarta.
Dalam pertimbangannya, Hakim MK I Gede Palguna mengatakan hak pilih tidak bisa dibatasi oleh syarat tertentu, seperti dilaporkan wartawan Muhammad Irham untuk BBC News Indonesia.
Jutaan warga adat terancam gagal mencoblos, kisah Dayak Meratus hadapi pemilu tanpa mengenal aksara
Belum sepekan disahkan, UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi
Apa yang perlu Anda ketahui tentang UU Pemilu
Akan tetapi, menurut majelis hakim, KTP elektronik merupakan identitas resmi penduduk yang wajib dibawa ke mana-mana dan dapat dipertanggungjawabkan pemiliknya.
Hak atas fotoAGUNG PARAMESWARA/GETTYImage caption Seorang warga Kota Denpasar tengah mencelupkan tangannya dalam botol tinta dalam Pilpres 9 Juli 2014.
“Tidak ada identtitas lainnya yang setara dengan KTP elektronik. Sangat kecil peluang menyalahgunakan. Sudah tepat dan proporsional,” kata Palguna saat membacakan pertimbangan MK.
Namun, untuk menekan jumlah angka golput karena tidak memilik KTP Elektronik, MK mengatakan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil perlu mengeluarkan pengganti KTP elektronik sebagai syarat pemilih untuk memungut suara.
“Untuk mempercepat prosesnya agar dapat direalisasikan,” tambah Aswanto.
Apa saja kewajiban KPU yang harus dilaksanakan?
Tidak semua pasal yang digugat dikabulkan oleh MK, namun demikian sejumlah pasal lainnya yang digugat diluluskan oleh MK.
Dalam amarnya, MK memutuskan memutuskan batas waktu penentuan Daftar Pemilih Tetap tambahan (DPTb) dari semula 30 hari menjadi 7 hari sebelum pelaksanaan Pemilu 2019.
DPTb ini untuk pemilih dengan keadaan tertentu seperti sakit, terkena musibah bencana alam, masuk penjara dan menjalankan tugas pada saat pemungutan suara.
“Untuk menjamin ketersediaan politik. waktu paling lambat 7 hari itu waktu yang rasional,” kata Hakim MK yang lain, Aswanto.
Hak atas fotoULET IFANSASTI/GETTYImage caption Dua orang petugas membawa kota suara menjelang pemungutan suara Pilpres 2014 di Yogyakarta, 8 Juli 2014.
Dalam uji materi lainnya, MK juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyediakan TPS khusus bagi pemilih yang terkonsentrasi di suatu lokasi.
Selain itu, MK juga menambah waktu penghitungan suara. Semula pemungutan suara itu harus selesai dalam 1 hari, menjadi ditambah 12 jam dari hari pemungutan suara.
“Dalam hal penghitungan suara dapat diperpanjang 12 jam sejak pemungutan suara,” kata Ketua MK, Saldi Isra dalam sidang yang sama.
Apa tanggapan KPU?
Keputusan MK ini dilakukan selang 20 hari menjelang proses pemungutan suara Pemilu 2019, 17 April nanti.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Seorang staf tempat pemungutan suara berpakaian ala wayang di Yogyakarta, pada pemilihan legislatif 2014 lalu.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum telah menyatakan bahwa pihaknya sudah mengantisipasi apapun hasil keputusan MK.
Menurut anggota KPU, Viryan Aziz, KPU akan mengantisipasinya dengan membuat upaya teknis.
Mengapa UU Pemilu 'digugat'?
Sebelumnya, para advokat menguji sejumlah pasal dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Para pemohon di antaranya Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini lalu Pemerhati Pemilu, Hadar Nafis Gumay bersama Indrayana Centre for Gobernment, Constitution, and Society (INTEGRITY).
Pasal-pasal yang diuji adalah tentang syarat KTP Elektronik yang menyebabkan hilangnya hak memilih (Pasal 348 ayat 9), tentang pemilih pindah TPS yang dapat kehilangan hak pilih pemilu legislatif (Pasal 348 ayat 4).
Hak atas fotoADEK BERRY/AFPImage caption Kertas suara untuk Pilpres 2014 yang siap dikirimkan ke TPS di wilayah Jakarta.
Pasal lainnya yang digugat adalah tentang pendaftaran DPT tambahan paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara (Pasal 210 ayat 1, dan tentang pembentukan TPS khusus berbasis pemilih DPT tambahan. Terakhir tentang penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara (Pasal 350 ayat 2).
Pasal-pasal yang digugat ke MK ini dinilai akan menghambat, dan menghalangi jutaan warga negara dalam melaksanakan hak pilihnya. Hal itu telah merugikan hak konstitusional warga negara.
Apa saja yang dimasalahkan?
1. Pemilih di lapas kehilangan suaranya, karena pembentukan TPS dilakukan berbasis dengan DPT. Ketidaktersediaan TPS di lapas mengharuskan para narapidana pergi mencoblos di TPS di sekitar luar lapas. Hal ini tidak mungkin dilakukan.
2. Warga negara yang sedang liburan di luar daerah tak boleh melakukan pemungutan suara dari daerah liburannya. Sebab, UU Pemilu membatasi jumlah DPT di tiap TPS dengan menetapkannya 30 hari sebelum pemungutan suara.
3. Para perantau hanya bisa mencoblos untuk pemilu presiden. Mereka tak bisa melakukan pemungutan suara untuk DPD, DPR, DPRD baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Hak atas fotoBAY ISMOYO/AFPImage caption Seorang petugas menyiapkan kota suara sebelum dikirim ke TPS di berbagai tempat di Indonesia, di Pemilu 2014.
4. Penghitungan suara harus selesai di hari pemungutan suara akan menjadi persoalan dalam keabsahan penghitungan suara.
Kementerian Dalam Negeri mencatat 4,2 juta pemilih belum merekam KTP Elektronik.
Para pemohon menginginkan KTP Elektronik tidak dijadikan satu-satunya alat untuk melakukan pemungutan suara dengan memberikan opsi lain yaitu surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, atau kartu yang diterbitkan KPU.
Namun, pemerintah melalui pernyataan sejumlah pejabat terkait memperingatkan akan adanya 2,8 juta pemilih yang memiliki identitas non KTP elektronik ganda.
Berita ini akan terus dilengkapi.
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.