简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Hak atas fotoPaola CorteseImage caption Bagi Paola memilih bukan hanya masalah identitas, namun juga
Hak atas fotoPaola CorteseImage caption Bagi Paola memilih bukan hanya masalah identitas, namun juga kesempatan untuk berkontribusi bagi Indonesia.
Di antara antrean panjang warga Indonesia di depan KBRI Singapura pada Minggu (14/04) pagi, Paola Cortese mendapati dirinya tersenyum bangga.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, perempuan berusia 35 tahun itu dapat mencelupkan tinta ungu ke jarinya sebagai bukti sudah berpartisipasi dalam pemilihan umum Indonesia.
Paola lahir berkewarganegaraan Italia, mengikuti kebangsaaan ayahnya. Namun, baginya rumah adalah Indonesia, tempat dia lahir dan dibesarkan.
Setelah proses yang sangat panjang, dia berhasil mengganti kewarganegaraannya menjadi WNI pada tiga tahun yang lalu.
“Setelah umur 18 boleh memilih apakah mau masuk warga negara Indonesia atau tetap sebagai orang asing. Tapi waktu itu aku kuliah di luar negeri, kerja di luar negeri, baru sampai Indonesia sekitar umur 26. Dan pada saat itu KITAP-ku sudah habis, jadi harus mulai lagi dari visa turis, ke KITAS dan KITAP,” ungkap Paola kepada BBC News Indonesia.
“Hidupku itu penuh dengan birokrasi. Mengurus dokumen setelah dokumen setelah dokumen karena aku masih dianggap orang asing.”
Ajakan golput Pemilu di Papua: Bagaimana isu HAM dan ekonomi pengaruhi pemilih
Jemaah Ahmadiyah, tak akan golput walau tiada capres dan caleg yang merangkul
Politisasi agama bisa mendorong golput?
'Golput adalah hak', sejumlah warga memilih golput di pilpres 2019
Mengikuti pemilu kali ini di Singapura, Paola merasa sahih menjadi warga negara Indonesia.
“Akhirnya tidak bisa orang lain memungkiri lagi kalau aku orang Indonesia. Aku bisa milih.”
“Sebelum itu seperti ada banyak rasa takut kalau suatu saat aku tidak diterima lagi di Indonesia,” papar Paola.
Namun bukan hanya masalah identitas sebagai warga Indonesia yang membuatnya semangat untuk ikut memilih.
Menurutnya ada banyak kesempatan yang hilang untuk ikut berkontribusi terhadap Indonesia akibat tidak memiliki hak memilih.
“Seperti (pemilu) kemarin, rasanya ingin sekali menyuarakan pendapat. Waktu pilkada Jakarta juga ingin sekali nyoblos gubernur yang aku dukung cuma tidak ada kesempatan.”
Hak atas fotoAya DuhitaImage caption Meski harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk terbang kembali ke Jogjakarta, Aya Duhita meyakini itu adalah upaya yang “tidak memikirkan diri sendiri” dan ikut “menentukan nasib negara”. Upaya yang “tidak memikirkan diri sendiri”
Aya Duhita (28), juga menyadari bahwa memilih adalah hak istimewa yang bisa disepelekan.
Demi bisa memilih, Aya akan terbang dari Jakarta ke kota asalnya, Yogyakarta, dan mengambil cuti kerja.
Meski harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk itu, Aya meyakini itu adalah upaya yang “tidak memikirkan diri sendiri” dan ikut “menentukan nasib negara”.
Kalau misalnya hak pilih aku tak aku gunakan, itu sama saja seperti aku tidak memikirkan infrastruktur yang sudah jalan. Sekarang kan ada proyek-proyek yang belum 100%.
“Kebijakan apapun yang nanti akan dilaksanakan capres dan cawapres terpilih itu akan menentukan juga akan dilanjutkan atau ditinggal begitu saja, atau dilanjutkan tapi tidak sesuai dengan rencana awal,” tuturnya.
“Harus dipergunakan sebaik-baiknya”
Pada saat bersamaan, ada kelompok yang yakin untuk tidak memilih atau golput di pemilu Rabu (17/04) nanti.
Mereka yang memilih untuk golput ini menyatakan kecewa atas dua calon presiden yang ada, tren yang menurut lembaga survei kemungkinan naik pada pemilihan April.
Pada pemilu 2014 lalu, sekitar 30% pemilih tidak berpartisipasi alias golput.
Golput adalah salah satu bentuk ekpresi politik dan merupakan hak warga negara, namun Paola Cortese menyayangkan jika ada teman-temannya yang memutuskan untuk golput.
“Duh kalian tak tahu yah perjuangannya,” ujarnya,
“Ada suatu hak penting tapi kok disia-siakan sedangkan aku yang ingin sekali tapi tak bisa waktu itu.”
“Memilih itu suatu hak istimewa. Tak semua orang yang cinta Indonesia bisa memilih. Contohnya aku. Baru sekarang ada kesempatan untuk memilih dan aku merasa harus dipergunakan sebaik-baiknya,” tambahnya.
Hak atas fotoBBC News IndonesiaImage caption Sekelompok aktivis menyatakan bahwa golput adalah ekspresi politik yang tidak dapat dipidana.
Tak hanya hak istimewa, bagi Paola memilih juga adalah bentuk kebanggaan sebagai warga Indonesia.
“Harusnya orang menghargai kalau Indonesia adalah salah satu negara yang benar-benar demokrasi di Asia Tenggara. Di negara lain sistem demokrasinya tidak semaju kita. Jadi pergunakanlah hak suara itu sebaik mungkin.”
Sedang bagi Aya Duhita, orang yang memutuskan untuk golput seperti “tidak peduli dengan diri sendiri”.
“Ini hanya meluangkan waktu program kerja mana yang menarik dan toh itu juga akan dikembalikan ke kamu,” kata Aya.
“Kesempatan ini hanya lima tahun sekali dan dalam lima tahun itu akan banyak hal yang dapat terjadi, kalau masih bisa baca atau nonton video dan masih peduli dengan diri sendiri, yuk ke TPS tanggal 17.”
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.